Curahan Hati Seorang Anak Terpidana Mati Narkoba

Di usia sembilan tahun, Devy Christa harus menghadapi getirnya kehidupan dunia. Di saat anak kecil seusianya menghabiskan waktu untuk bermain, Devy justru harus melihat Merry Utami, ibunya dibawa polisi karena terjerat kasus narkoba lewat tayangan televisi.

“Kenapa ibu ditangkap polisi?” kata Devy sembari mengenang masa lalunya saat diskusi A Day for Forever : Celebrating Life and Hope di Conclave, Kebayoran Baru, beberapa waktu lalu.

Devy kecil kebingungan karena dia tak tahu apa sebab ibunya ditangkap polisi. Karena ibunya ditangkap polisi, dia pun harus tinggal bersama ayahnya.

Namun ini tak membuat sang ayah mau menceritakan penyebab ibunya ditangkap polisi. Ayahnya menyimpan semua jawaban tentang ibunya seorang diri sekalipun hubungan rumah tangganya dengan Merry sudah tak harmonis.

Hanya saja seiring berjalannya waktu, Devy menemukan koran lama yang disimpan ayahnya di lemari. Dari koran itu, Devy mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Ibunya ditangkap karena kasus narkoba.

“Tapi saat itu saya tidak tahu apa itu narkoba, kenapa sampai membuat ibu ditangkap polisi?” kata Devy yang mulai sedikit terisak.

Merry Utami ditangkap karena kedapatan membawa heroin seberat 1,1 kilogram di Bandara Soekarno-Hatta pada 31 Oktober 2001 setelah merantau ke Hong Kong sebagai TKI. Pekerjaan jadi TKI Hong Kong ini dilakoninya untuk membiayai anak pertamanya (kakak Devy) yang menderita kelainan jantung.

Tak lama Merry ditangkap dan dipenjara, kakaknya pun meninggal dunia. Di tahun 2003, Merry divonis hukuman mati.

Di tahun 2005, Devy yang sudah duduk di kelas 1 SMP pun bisa menemui ibunya di Lapas Tangerang. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu kembali.

“Kaget banget, enggak ngenalin. Duduk, nunggu mama, berdiri di pintu, saya sampai lupa wajah mama saya sendiri. (Mama) liatin saya (lalu) nangis,” katanya.

“Tapi saya bertanya-tanya, siapa dia melihat saya sampai kayak gitu. Dia peluk, saya diam saja.”

Sembari memeluk, samar-samar Merry membisikkan kalimat untuk Devy.

“Ini mama,” kata Devy menirukan ucapan Merry.

Seketika itu, tangis Devy pun meledak. Dia tak kuasa lagi menahan tangis kerinduan yang dipendamnya selama ini.

Beberapa tahun di Lapas Tangerang, Merry dipindah ke Lapas Cilacap pada 2016. Informasi ini diketahui Devy setelah menghubungi pihak lapas saat mencuatnya pemberitaan soal Eksekusi Mati Jilid 3.

“Saya syok, pikiran saya enggak karuan. Di benak saya, mama udah enggak ada, mama bakal di peti. Kalau Nusakambangan pasti bakal dieksekusi,” katanya.

Akan tetapi, eksekusi mati ditunda. Merry pun mengajukan grasi lewat surat untuk Presiden Jokowi.

Sayang, surat kepada Presiden Jokowi, pengajuan grasi, dan permohonan dari aliansi penolak hukuman mati masih belum mendapat respons. Devy masih harap-harap cemas karena ibunya bisa dieksekusi kapan pun.

Eksekusi dengan penundaan yang tidak jelas, masa penantian yang menyiksa, pengajuan grasi yang tak kunjung mendapat respons membuatnya bimbang. Kebimbangannya ini makin ditambah dengan sedihnya ditinggal sang ayah. Selang setahun, sang ayah meninggal dunia.

“Kenapa enggak saat itu (eksekusi mati), biar mama enggak nyusahin kamu, enggak nyusahin banyak orang,” kata Devy menirukan sang ibu.

“Mama saat ini baik dan sehat. Satu tahun terakhir, mama bisa survive, ngajarin teman-teman di sana merajut. Mama bisa sejenak melupakan apa yang dia alami,” ucapnya.

Ditolak karena latar belakang

Waktu 17 tahun bukan masa yang singkat bagi Devy. Banyak hal telah dilaluinya, termasuk ditinggalkan teman karena latar belakang keluarganya.

Berbagai penolakan di masyarakat pun dialaminya. Namun ia sadar, tidak semua orang mampu menjalani hidup seperti dirinya. Hanya saja hal ini tak membuatnya gentar dan berkecil hati.

Devy terus menjalani hidupnya dengan baik. Dia kini sudah menikah dan memiliki dua anak. Dia membangun keluarganya di Madiun, Jawa Timur.

Meski sudah berkeluarga, Devy tak pernah melupakan ibunya walau sesaat. Dia masih tetap berjuang untuk ibunya agar mendapat grasi.

Ia merasa, seorang anak memang bertanggung jawab untuk memperjuangkan orang tuanya. Dia punya harapan yang bisa membuatnya bertahan sampai selama ini.

“Lama banget enggak ditemenin mama. Ada harapan, pengan tidur sama mama. Gimana pun caranya saya harus berjuang. Ada banyak teman yang bantu,” katanya. (chs)

Sumber: cnnindonesia.com